Lingkungan

Pentingnya Menjaga Sumber Hayati di Kawasan Perkebunan 

Seminar Andalas Forum dari kiri ke kanan Hendri Wahyudi ST MSi Mirawati Soedjono Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Ditjen KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dr Jeans Piere Calliman dari PT Smart. 

BATAM-Menjawab tudingan NGO-NGO yang mengkritisi bahwa perkebunan sawit telah menjadi penyebab rusaknya sumber daya hayati seluruhnya tidaklah benar. Sebab, saat ini telah banyak kawasan perkebunan yang mengubah sebagian kawasan perkebunannya menjadi kawasan Nilai Konservasi Tinggi (NKT). 

Bagaimana mewujudkan sebagian kawasan menjadi Nilai Konservasi Tinggi (NKT) inilah yang dibahas dalam seminar Andalas Forum, yang dilaksanakan di Radissom Golf and Convention Center,  Batam Provinsi Kepulauan Riau, Jumat, 22 Februari 2019.,

Seminar yang dipandu Hendri Wahyudi ST MSi ini menghadirkan dua pembicara, Mirawati Soedjono Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Ditjen KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dr Jeans Piere Calliman dari PT Smart. 

Dalam pemaparannya, Mirawati Soedjono mengatakan pemberian sebahagian lahan perkebunan untuk kawasan konservasi ini hanya bagian dari sikap moralitas perkebunan terhadap keragaman hayati dan keberadaan satwa liar. 

"Program keberlanjutan itu adalah apa yang kita upayakan sekarang ini, tidak akan ,mengorbankan masa depan. Dan saya melihat tema yang diusung dalam Andalas Forum ini, yakni Membangun Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan di Tengah Isu Lingkungan Global, sangat bagus sekali, karena sesuai dengan program pemberdayaan sumber hayati yang ada di sekitar kawasan perkebunan," ujar Mirawati memaparkan.

Apalagi selama ini, tudingan bahwa perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan dampak terhadap hilangnya keaneka-ragaman hayati, konflik manusia dengan hewan, hingga pengeringan gambut. 

Dikatakan Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Ditjen KSDAE , sejauh ini sudah ada beberapa perkebunan besar di Kalimantan yang mengalokasikan sebagian lahan yang dikuasainya menjadi kawasan konservasi. "Bahkan, mereka yang datang mengajukan, sebagian lahan yang mereka miliki untuk dijadikan kawasan konservasi orang hutan dan untuk bekantan, " ujarnya. 

Mira mengakui bahwa kondisi kawasan di Sumatera dan Kalimantan itu berbeda, termasuk hewan liar yang ada di masing-masing wilayah. Seperti harimau yang tak ada memastikan luas jelajah yang dimiliki harimau, dan gajah yang memiliki koridornya sendiri. 

"Namun demikian tak ada yang tak mungkin, seperti contoh untuk koridor gajah, masing-masing lahan perkebunan yang ada membuat koridor tempat gajah-gajah itu lewat. Di koridor ini, jangan lagi ditanami, " ungkapnya. 

Namun, persoalan dilapangan tidak semudah yang disampaikan, seperti yang ditanyakan seorang peserta Andalas Forum. Dirinya mengatakan, bagaimana mungkin menyisakan lahan untuk kawasan konservasi jika lahan HGU saja yang belum ditanami dianggap lahan terlantar, kemudian diserobot masyarakat. 

"Bahkan diatas lahan ini mereka tanami, karena dianggap lahan terlantar. Kita sendiri tak bisa berbuat apa-apa," ujarnya. 

Mirawati Soedjono menanggapi pertanyaan peserta ini kemudian mengatakan, persoalan ini memang perlu melibatkan Kementerian KLHK dan Kementerian ATR BPN. "Memang perlu kesepakatan dan koordinasi yang tepat antara KLHK dan Kementerian ATR BPN menyikapi persoalan ini. Dan untuk mewujudkan, kawasan dengan Nilai Konservasi Tinggi, perlu adanya tata kolaborasi antara pemerintah dengan perusahaan swasta," ungkapnya lagi.(rdh)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar